Tubuh dan Seksualitasku

Kita harus belajar netral tentang tubuh kita. Dengan olahraga kita bisa kembali belajar intens mengalami tubuh bukan sebagai aurat.

for English see below

   Mengenang masa remaja: hampir semua gadis pernah merasa tak nyaman dengan haid dan buah dada mereka. Anak perempuan di sekolah sering takut sekali jika menstruasinya tembus pada rok, seolah itu kiamat. Yang berpayudara besar mulai jadi sasaran rogohan anak lelaki, atau dipaksa menutupi dadanya, seolah tubuhnya adalah biang dosa. Saya ingin agar anak-anak sekarang dan di masa depan tidak lagi mengalami itu.

   Di usia belasaan, seperti teman-teman lain, saya juga dihinggapi kecemasan tentang keperawanan. Tapi, pada saat yang sama saya menggugat, kenapa anak lelaki tidak harus mengalami tekanan ini? Pelan-pelan, semua itu membuat saya berpikir, kenapa kami harus takut? Kenapa kami harus dibikin takut, malu, tak nyaman?

     Akhirnya saya tahu, takut itu dibikin, dibuat, disebabkan oleh nilai-nilai masyarakat yang tidak berpihak pada perempuan. Kenapa tidak berpihak? Karena melihat perempuan sebagai objek seks untuk kenikmatan lelaki. Tentu saja sebagian besar proses ini terjadi di bawah sadar. Kita jadi tidak sadar bahwa ketakutan-ketakutan itu dibangun oleh nilai-nilai yang tidak adil. Kita bahkan kadang ikut syur dan merasa romantis dengan fantasi-fantasi penyerahan diri.

     Kritik saya pada masyarakat adalah: perempuan diberi beban besar dalam soal seksualitas, lebih dari lelaki. Bahkan lebih dari yang diberikan alam. Itu tidak adil. Macam-macam bentuk beban itu. Perempuan dididik untuk jijik dan merasa kotor dengan darah yang keluar dari tubuhnya. Anak perempuan yang tidak perawan digunjingkan, tapi perawan tua juga dihina. Perempuan biasanya disuruh menanggung kontrasepsi—dari pil, spiral, sampai aborsi—seolah lelaki tidak perlu menjaga sejak di awal. Perempuan sering dihukum lebih berat dan berlipat untuk kesalahan yang sama yang dibuat lelaki. Semua itu berangkat dari suatu gabungan pandangan, yaitu objektivikasi dan seksualisasi terhadap tubuh perempuan.

Seksualisasi tubuh perempuan

     Objektivikasi tubuh perempuan adalah ketika tubuh perempuan dianggap sebagai objek. Sebagai objek, ia dimiliki atau ditujukan untuk kenikmatan pihak lain, dalam hal ini lelaki.

     Seksualisasi tubuh perempuan adalah ketika tubuh perempuan dilihat hanya dari aspek seksualnya. Aspek-aspek lain dihilangkan. Tubuh itu jadi tidak netral lagi. Setiap bagiannya menjadi aurat. Perempuan jadi tidak bisa rileks dan wajar dengan tubuhnya.

     Banyak orang tidak bisa melihat bahwa aturan yang mengharuskan perempuan menutupi seluruh tubuhnya dan bisnis yang memasang gambar perempuan telanjang atau setengah telanjang punya dasar pikir yang sama: Keduanya menganggap tubuh perempuan hanya sebagai benda seks. Hanya reaksinya yang berbeda. Yang satu menutup, yang satu membuka. Yang satu untuk kenikmatan satu lelaki, yang lain untuk uang. Tapi, di kedua pilihan, perempuan tidak bisa menjadi wajar dengan tubuhnya sendiri. Ia telah diseksualisasi habis-habisan.

Jalan keluar

     Sebetulnya kita punya pilihan di luar yang dua itu. Kita bisa keluar dari “sistem objektivikasi” atau “sistem seksualisasi” dan "auratisasi" itu. Kita bisa belajar melihat tubuh kita dengan lebih santai dan wajar. Ibu-ibu di zaman dulu bisa bertelanjang dada sambil bekerja di sawah, dan tak ada satu pun yang mengutuk atau menjamah mereka. Kita memang tidak harus bertelanjang dada lagi. Kepolosan itu sudah hilang. Tapi kita bisa belajar dari masa lalu yang damai itu bahwa pria maupun wanita bisa bersikap netral mengenai tubuh.

Hidup sebagai Pernyataan

     Saya memakai tubuh dan hidup saya untuk menyatakan pendapat. Pendapat tak bisa hanya dalam kata-kata, bukan? Sabda harus menjadi daging...

     Bagaimana  dan kenapa saya memilih jalan hidup tertentu--misalnya, pilihan baju (yang mengajak orang untuk biasa-biasa saja pada tubuh), tidak menikah (secara negara), mengatur relasi  yang adil dengan pasangan hidup (kami tidak mau ada "kepala keluarga")--adalah pernyataan sikap politik.

Lebih jauh tentang tubuh dan seksualitas telah saya tulis dalam buku-buku saya, terutama Trilogi berikut:

Si Parasit Lajang 

Cerita Cinta Enrico (Enrico's Love Story)

Pengakuan Eks Parasit Lajang (The Confession of A)

 

Tautan artikel:

Wawancara Tentang Iman dan Dosa

Mengapa Tes Keperawanan adalah Penghinaan Martabat

My Body and My Sexuality

I am using my body and my life as my statements. Philosophies of life are not just expressed in words. The word has to become flesh.

In my teenage years, when feminist theories were still unknown in Indonesia, I started to see that marriage has been used as an effective way to continue the subordination of women . I saw my oldest sister wash the feet of her husband in their Javanese wedding ceremony. My other sister had to kiss the hand of her husband during their Islamic nuptials. The women kiss the hands or wash the feet of the men because the husband is considered the leader and not because the male is considered the weaker sex. Those are symbols of serving male power. Those gestures are not symbols of love for the weak. There is an obsession with power behind both rites. Unfortunately, subjugation can easily become an erotic fantasy. Some women do not want to admit their masochist tendencies and, instead of confining it within their bedroom, they romanticize their submission in everyday life.

I decided to take a stand to live an unmarried life (while having a partner) and to be open about it publicly. Extramarital sex is certainly not an issue in the West, but it was (and it still is) in Indonesia. To this day we keep hearing of efforts, mainly from the proponents Shariah, to criminalize even consensual sex between unmarried couples (for example, read this link).

My books on these topics are the autobiographical Trilogy:

The Single Parasite

Enrico's Love Story

The Confession of A